Sabtu, 21 Februari 2009

SEJARAH KOTA SUCI YERUSALEM

Sejak awal Islam masuk ke wilayah itu, Palestina dan kota Yerusalem khususnya, bagai kota yang damai, dan warganya hidup tentram, hingga mereka menjadikan kota itu sebagai tempat suci bersama. Bagi umat Islam. Bagi Yahudi dan Nasrani. Umat Islam menjadikan kesucian Palestina sebagai sebuah kesempatan untuk membawa kedamaian di daerah ini. Tapi rupanya kemesraan hubungan Islam, Yahudi dan Nasrani dirongrong pihak luar.
Isa (Yesus), salah satu Nabi yang diutus untuk umat Yahudi, menandai titik balik yang sangat penting dalam sejarah Yahudi. Orang-orang Yahudi menolaknya, ia diusir dari Palestina dan mengalami banyak ketidakberuntungan. Pengikutnya kemudian dikenal sebagai umat Nasrani.
Tapi, agama yang disebut Nasrani atau Kristen saat ini didirikan oleh orang lain, yang dikenal sebagai Paulus (Saul dari Tarsus). Ia menambahkan pandangan pribadinya tentang Isa ke dalam ajaran yang asli dan merumuskan sebuah ajaran baru di mana Isa tidak disebut sebagai seorang nabi dan al-Masih, tapi sebagai ciri ketuhanan. Setelah dua setengah abad ditentang, ajaran Paulus dijadikan doktrin Trinitas. Ini sebuah penyimpangan dari ajaran Isa dan pengikut-pengikut awalnya. Setelah itu, Allah menurunkan al Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw sehingga beliau bisa mengajarkan Islam, agama Ibrahim, Musa, dan Isa kepada seluruh umat manusia.
Yerusalem itu suci bagi umat Islam karena dua alas an: kota itu kiblat pertama umat Islam dalam ibadah shalat mereka, dan merupakan tempat yang dianggap sebagai salah satu mukjizat terbesar Nabi Muhammad, yaitu mi’raj, perjalanan malam dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem , kenaikannya ke langit, dan kembali lagi ke Masjidil Haram. Al Qur’an menerangkan kejadian ini sebagai berikut:

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Maasjidil Aqhsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Isra’:1)

Pesan-pesan al Qur’an kepada Nabi saw perihal masalah ini, sebagian besar mengacu pada Palestina sebagai “tanah suci, yang diberkati.” Ayat 17:1 menggambarkan sebuah tempat yang di dalamnya ada Masjidil Aqsa sebagai tanah “yang Kami berkati sekelilingnya.” Ayat 21:71 menggambarkan keluarnya Nabi Ibrahim dan Luth dari tanah yang sama, disebut sebagai “tanah yang Kami berkati untuk semua makhluk.” Pada saat bersamaan, Palestina secara keseluruhan penting artinya bagi umat Islam karena begitu banyak nabi Yahudi yang hidup dan berjuang demi Allah, mengorbankan hidup mereka, atau meninggal dan dikuburkan di sana.
Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam 2000 tahun terakhir, umat Islam telah menjadi satu-satunya kekuatan yang membawa kedamaian pada Yerusalem dan Palestina. Setelah Roma mengusir Yahudi dari Palestina, Yerusalem dan sekitarnya menjadi lenyap. Tetapi, Yerusalem kembali menjadi pusat perhatian setelah Pemerintah Romawi Constantine memeluk agama Nasrani. Orang-orang Kristen Roma membangun gereja-gereja di Yerusalem, dan menjadikannya sebagai kota Nasrani. Palestina tetap menjadi daerah Romawi (Bizantium) hingga abad ketujuh, ketika negeri ini menjadi bagian kerajaan Persia dalam masa yang singkat. Akhirnya, Bizantium kembali menguasainya.
Tahun 637 M menjadi titik balik dalam sejarah Palestina, setelah wilayah itu berada di bawah kendali kaum muslimin. Islam membawa perdamaian bagi Palestina yang selama berabad-abad telah menjadi arena perang, pengasingan, penyerangan, dan pembantaian. Setiap kali terjadi pergantian penguasa, terjadi pula kekejaman baru. Di bawah pemerintahan muslim penduduknya hidup bersama secara damai dan tentram. Masa itu, Palestina ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, khalifah kedua.
Seorang pengamat agama terkemuka dari Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan penaklukkan Yerusalem oleh Umar Bin Khattab dalam bukunya Holy War: Khalifah Umar memasuki Yerusalem mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh Uskup Yunani, Sofronius. Sang Khalifah minta agar ia segera dibawa ke Haram asy-Syarif, tempat Nabi Muhammad melakukan perjalanan malam dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Di sana Umar berlutut dan berdoa. Sang Uskup ketakutan. Sebab ia menduga, ini akan menjadi penaklukkan yang penuh kengerian sebagaimana pernah diramalkan oleh Nabi Daniel bahwa di kota itu akan datang sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat.
Kemudian Umar mengunjungi tempat-tempat suci Nasrani. Ketika ia berada di gereja Holy Sepulchre, waktu shalat tiba. Dengan sopan sang uskup mempersilakan Umar untuk shalat di situ. Tapi Umar menolak. Jika ia shalat di dalam gereja, kelak umat Islam akan mengenang kejadian itu dengan mendirikan mesjid di sana, ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Umar shalat di tempat yang agak jauh dari gereja itu, dan cukup tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan dengan Holy Sepulchre, kemudian hari berdiri sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah Umar. Masjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan itu, bersama dengan Masjid al-Aqsa untuk mengenang perjalanan malam Nabi Muhammad.
Selama bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan reruntuhan biara Yahudi itu sebagai tempat pembuangan sampah kota. Sang Khalifah membantu umat Islam membersihkan sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri, membangun peradaban Islam di kota suci ketiga itu. Pendeknya, umat Islam membawa peradaban bagi Yerusalem dan seluruh Palestina. Menjunjung tinggi persaudaraan dengan penganut-penganut agama lain. Budaya Islam yang adil, toleran, dan lemah lembut membawa kedamaian bagi masyarakat Muslim, Nasrani, dan Yahudi di kota suci itu.
Perdamaian itu terus berlanjut sepanjang orang-orang Islam menguasai Yerusalem. Tapi, di akhir abad kesebelas, Eropa memasuki daerah ini dan merampas Yerusalem dengan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Para penyerang ini adalah tentara perang Salib. Ketika orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam damai, sang Paus membangun sebuah kekuatan perang Salib. Mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “memerdekakan” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang melimpah ruah di Timur. Mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. kota itu jatuh setelah pengepungan hampir 5 minggu. Orang-orang Islam dan Yahdi dibasmi dengan pedang.
Dalam penuturan seorang ahli sejarah dicatat: “Mereka membunuh semua orang Saracen dan Turki yang mereka temui, pria maupun wanita.” Salah satu tentara Perang Salib, Raymond dari Aguiles, merasa bangga dengan kekejaman ini: pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala musuh-musuh mereka; yang lain menembaki mereka dengan panah-panah, mereka berjatuhan dari menara-menara; yang lain lagi menceburkan mereka ke dalam nyala api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan terlihat di jalan-jalan kota. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di biara dan serambi Sulaiman, ratusan orang disuruh berlutut dan leher mereka dibelenggu. Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara sadis. Perdamaian dan ketertiban di Palestina yang telah berlangsung semenjak jaman Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.
Tentara Perang Salib menjadikan Yerusalem sebagai ibukota, dan mendirikan kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. Tapi pemerintahan mereka berumur pendek, karena Salahuddin menghimpun seluruh kekuatan Islam dalam perang suci dan berhasil mengalahkan tentara Perang Salib dalam pertempuran Hattin pada 1187 M. setelah pertempuran itu, dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan Raja Guy dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald karena kekejaman yang ia lakukan kepada orang-orang Islam, tapi membiarkan Raja Guy pergi, karena tidak melakukan kekejaman serupa. Palestina, sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, Salahuddin memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Salib. Sebaliknya dengan “pembebasan” tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota itu. Ia hanya memerintahkan seluruh umat Nasrani untuk meninggalkan Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks yang bukan tentara Perang Salib dibiarkan tinggal dan bebas menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka.
Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua atas Yerusalem ini sebagai berikut:

Pada 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota muslim. Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota itu menurut ajaran Islam yang cinta damai. Ia tidak membalas pembantaian tahun 1099. satu orang Kristen pun tidak ada yang dibunuh, tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun sangat rendah. Salahuddin menangis setelah melihat keluarga-keluarga terpecah belah dan ia membebaskan mereka. Semua pemimpin muslim tersinggung karena melihat orang-orang Kristen kaya melarikan diri membawa kekayaan mereka, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. Uskup Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre.

Pendeknya, Salahuddin dan tentaranya memperlakukan orang-orang Nasrani dengan kasih sayang dan keadilan yang agung, dan menunjukkan kepada mereka kasih sayang yang lebih disbanding dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin mereka.
Setelah Yerusalem, tentara Perang Salib melanjutkan perbuatan tidak berprikemanusiaannya dan orang-orang Islam meneruskan keadilannya di kota-kota Palestina lainnya. Pada tahun 1194, Richard Si Hati Singa, yang dicatat sebagai pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam (sebagian besar wanita-wanita dan anak-anak) secara keji di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah melakukan hal yang sama. Mereka malah tunduk kepada perintah Allah: Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Madjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka) (QS: 5:2), dan tidak pernah melakukan kekejaman kepada orang-orang sipil yang tak bersalah. Di samping itu, mereka tidak pernah menggunakan kekerasan yang tidak perlu, bahkan kepada tentara Perang Salib sekalipun.
Kekejaman tentara Perang Salib dan keadilan orang-orang Islam sekali lagi terungkap sebagai kebenaran sejarah: sebuah pemerintahan yang dibangun di atas dasar-dasar Islam memungkinkan orang-orang dari keyakinan berbeda dapat hidup bersama dalam damai. Ini terus berlanjut selama 800 tahun setelah Salahuddin, khususnya masa kesultanan Ottoman. Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan Yerusalem dan sekitarnya. Pemerintahan Ottoman berlangsung selama 400 tahun di Palestina. Seperti di negara-negara Ottoman lainnya, di masa ini orang-orang Palestina menghirup perdamaian dan stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan berbeda hidup berdampingan di wilayah yang sama.
Kesultanan Ottoman diperintah dengan “sistem bangsa (millet),” yang gambaran dasarnya adalah bahwa orang-orang dengan keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi yang disebut Al Qur’an sebagai Ahli Kitab, menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan di tanah Ottoman. Alasan terpentingnya adalah bahwa meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam yang diatur oleh orang-orang Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk memeluk Islam. Sebaliknya kesultanan ingin memberikan kedamaian dan keamanan bagi orang-orang non-Muslim, sehingga mereka nyaman dalam aturan dan keadilan Islam.
Pada saat yang sama, negara-negara besar lainnya menerapkan sistem pemerintahan yang lebih kejam, menindas, dan tidak toleran.spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam dan Yahudi di tanah spanyol. Di negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya karena mereka adalah Yahudi. Mereka dipaksa untuk hidup di pemukiman khusus minoritas Yahudi dan kadangkala menjadi korban pembantaian missal (progrom).
Orang-orang Nasrani bahkan tidak dapat berdampingan satu sama lain: pertikaian antara Protestan dan Katolik dari abad keenambelas hingga tujuh belas menjadikan Eropa sebuah medan pertempuran berdarah. Perang tiga puluh tahun (1618-1648) adalah salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa Tengah menjadi medan peperangan. Di Jerman, 5 juta orang (sepertiga jumlah penduduknya) lenyap.
Bertolak belakang dengan kekejaman ini, Kesultanan Ottoman dan negara-negara Islam membangun pemerintahan mereka berdasarkan perintah Al Qur’an. Pemerintahan yang toleran, adil, dan berprikemanusiaan. Alasan keadilan yang ditunjukkan Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman yang diterima oleh Dunia Barat saat ini adalah karena keimanan mereka kepada perintah-perintah Al Qur’an, di antaranya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: 4:58)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS: 4:135)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS:60:8)

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS 49:9)

Ada sebuah ungkapan yang digunakan dalam politik, bahwa “kekuasaan itu menyimpang, dan kekuasaan mutlak itu mutlak menyimpang.” Ini berarti bahwa setiap orang yang menerima kekuasaan politik kadangkala menjadi menyimpang karena ada kesempatan. Ini benar-benar terjadi pada sebagian besar manusia, karena akhlak mereka dibentuk karena tekanan sosial. Dengan kata lain, mereka menghindari perbuatan yang tak berakhlak karena mereka takut pada ketidaksetujuan atau hukuman masyarakat. Namun pihak berwenang memberi mereka kekuasaan, dan menurunkan tekanan sosial atas mereka. Akibatnya, mereka menjadi menyimpang atau merasa jauh lebih mudah untuk berkompromi. Jika mereka memiliki kekuasaan mutlak mungkin mereka mencoba untuk memuaskan keinginan mereka sendiri dengan cara apapun.
Manusia yang tidak disentuh oleh hukum penyimpangan itu adalah orang yang percaya kepada Allah dengan ikhlas, memeluk agama-Nya karena rasa takut dan cinta kepada-Nya. Karena itu, akhlak mereka tidak ditentukan oleh masyarakat, dan bahkan bentuk kekuasaan mutlak pun tidak mampu memengaruhi mereka. Allah menyatakan hal ini dalam sebuah ayat:

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatn yang mungkar; dan kepada Allah lah kembali segala urusan. (QS:22:41)

Sejarah Islam penuh dengan penguasa-penguasa yang adil, rendah hati, dan bijaksana. Karena para penguasa muslim takut kepada Allah, mereka tidak menyimpang, sombong atau kejam. Tentu ada penguasa muslim yang menyimpang dan keluar dari akhlak islami, tapi mereka adalah pengecualian. Islam terbukti menjadi satu-satunya sistem keimanan yang menghasilkan bentuk pemerintahan yang adil, dan toleran selama 1400 tahun terakhir. Yerusalem, pusat tiga agama, mengalami masa stabilitas terpanjang di bawah kesultanan Ottoman.
Umat Nasrani, Yahudi, dan Muslim, bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Banyak ahli sejarah dan ilmuwan politik yang telah memberi perhatian pada kenyataan ini. Salah satu dari mereka adalah ahli Timur Tengah dari Columbia University, Profesor Edward Said. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Israel Ha’aretz, ia menganjurkan dibangkitkannya “sistem bangsa Ottoman” jika perdamaian permanen ingin dibangun di Timur Tengah. Dalam pernyataannya, minoritas Yahudi bisa terlindungi di bawah Kesultanan Ottoman dengan sistem milletnya.
Memang, Palestina tidak pernah lagi merasakan pemerintahan yang “manusiawi” setelah pemerintahan Ottoman berakhir. Antara dua perang dunia, Inggris menghancurkan orang-orang Arab dengan strategi “memecah dan menaklukkannya” sekaligus memperkuat gerakan zionis yang kemudian terbukti menentang mereka sendiri. Zionisme memicu kemarahan orang-orang Arab. Sejak tahun 1930an, Palestina menjadi ajang pertentangan antara kedua kelompok ini. Zionisme membentuk kelompok teroris untuk melawan orang-orang Palestina, dan segera setelahnya, menyerang orang-orang Inggris pula. Begitu Inggris lepas tangan dan menyerahkan kekuasaannya pada 1947, pertentangan ini berubah menjadi perang dan pendudukan Israel dengan pertumpahan darah.
Sebelum Ibrahim AS, bangsa Kanaan (Palestina) tadinya adalah penyembah berhala. Ibrahim meyakinkan mereka untuk meninggalkan kekafirannya dan mengakui satu Tuhan. Menurut sumber-sumber sejarah, beliau mendirikan rumah untuk istrinya, Hajar dan putranya Ismail (Ishmael) di Mekah, sementara istrinya yang lain Sarah, dan putra keduanya Ishaq (Isaac) tetap di Kanaan. Seperti itu pulalah, Al Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendirikan rumah untuk beberapa putranya di sekitar Baitul Haram, yang menurut penjelasan Al Qur’an bertempat di lembah Mekah.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS: 14:37)

Tapi, putra Ishaq Ya’qub (Jacob) pindah ke Mesir selama putranya Yusuf (Joseph) diberi tugas kenegaraan. (Putra-putra Ya’qub juga dikenang sebagai “Bani Israel.”) Setelah Yusuf dibebaskan dari penjara dan penunjukkan dirinya sebagai kepala bendahara Mesir, Bani Israel hidup dengan damai dan aman di Mesir. Keadaan setelah berlalunya waktu. Firaun memperlakukan mereka dengan kekejaman yang dahsyat. Allah memerintahkan Musa (Moses) untuk membawa umatnya keluar dari Mesir. Musa menghadapi Firaun, memintanya untuk menyerahkan diri pada Allah, dan membebaskan Bani Israel (disebut juga orang-orang Israel). Tapi Firaun malah memperbudak Bani Israel, mempekerjakan mereka hingga banyak yang mati kelaparan, Firaun juga membunuh setiap anak laki-laki yang lahir.
Musa AS dan kaumnya meninggalkan Mesir sekitar tahun 1250 SM, dengan pertolongan Allah mereka sampai di semenanjung Sinai dan timur Kanaan. Dalam Al Qur’an, Musa memerintahkan Bani Israel untuk memasuki Kanaan:

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. (QS: 5:21)

Setelah jaman Musa as, bani Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan yang sangat berpengaruh. Selama pemerintahan putranya, Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di selatan hingga sungai Eufrat di utara (Siria sekarang). Ini adalah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak nabi kepada Bani Israel meskipun dalam banyak hal mereka mengkhianati Allah.

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS: 48:26)

Karena kemerosotan akhlaknya, kerajaan Israel mulai memudar dan ditempati oleh orang-orang penyembah berhala. Bangsa Israel, yang dikenal juga sebagai Yahudi, pada saat itu diperbudak kembali. Ketika Palestina dikuasai oleh kerajaan Romawi, Nabi Isa (Jesus) AS datang dan sekali lagi mengajak Bani Israel untuk meninggalkan kesombongannya, takhayulnya, dan pengkhianatannya. Dalam pandangan Allah, orang-orang terpilih adalah orang-orang yang tetap mengikuti agama Ibrahim, tanpa memandang rasnya.
Al Qur’an juga menekankan kenyataan ini. Allah menyatakan bahwa warisan Ibrahim bukanlah orang-orang Yahudi yang bangga sebagai “anak-anak Ibrahim,” melainkan orang-orang Islam yang hidup menurut agama ini:

Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (QS: 3:68)

Sementara umat Yahudi yang menentang zionisme secara terbuka menentang pemerintah Israel. Yahudi fanatik berpandangan: Tanah Terjanji adalah untuk Orang Terpilih. Selamanya. Kekal. Abadi. Di sampul depan Washington Report on Middle East Affairs, Yahudi fanatik digambarkan membawa spanduk dengan semboyan ini. Karena pandangan keliru seperti ini, mereka bertindak kejam atas tahanan Palestina, Kristen maupun Islam.
Belum lama ini para pengikut zionis radikal melakukan banyak upaya untuk menghancurkan mesjid Al Aqsa. Beberapa kelompok zionis dengan sukarela menjalankan misi ini. Sejak 1967, kelompok-kelompok itu telah menyerang Mesjid Al Aqsa lebih dari 100 kali, dan dalam penyerangan itu, mereka telah membunuh banyak orang Islam. Serangan pertama dilakukan oleh Rabbi Shlomo Goren, seorang pendeta di Angkatan Bersenjata Israel, Agustus 1967. Goren, yang kemudian menjadi kepala rabbi Israel, memasuki tempat suci Islam itu dengan 50 pria bersenjata. Pada 21 Agustus 1969, zionis mengarahkan tembakan langsung ke mesjid itu, merusak sebuah mimbar yang terbuat dari kayu dan gading. PBB hanya merasa perlu mengutuk kejadian itu.
Pada 3 Maret 1971, pengikut Gershon Solomon juga menjadikan Haram asy-Syarif sebagai sasaran. Meski mereka mundur setelah kontak senjata dengan tentara keamanan Palestina, mereka tidak kapok dan melancarkan lagi serangan serupa tiga hari kemudian. Kemudian pada 1980, sekitar 300 anggota kelompok teroris radikal Gush Emunim menggunakan senjata berat dan menyerang mesjid. Dua tahun berikutnya, seorang Israel yang membawa paspor Amerika bergerak ke mesjid dengan senapan serbu M-16 dan menembakkannya ke arah kaum muslimin yang sedang shalat berjamaah di sana. Setelah kejadian tragis itu, tak seorang pun yang mempertanyakan bagaimana seorang lelaki bersenjata bisa menembus “barikade” yang didirikan oleh tentara Israel di sekitar mesjid itu. Si penyerang diadili dan ditahan sementara waktu, dan ia berkoar-koar bahwa telah “menyelesaikan tugasnya.” Pada tahun yang sama seorang murid dari pemimpin teroris keji, Rabbi Meir Kahane menyerang mesjid itu dengan dinamit.
Penyerangan seperti itu tidak berhenti sampai di sini. Pada 10 Maret 1983, anggota Gush Emunim memanjat dinding Haram asy Syarif dan mencoba menaruh bahan peledak. Para teroris ini diperiksa dan dibebaskan beberapa bulan kemudian. Segera setelah serangan ini, sekelompok teroris Yahudi radikal yang dipersenjatai dengan alat-alat peledak termasuk lusinan granat, dinamit, dan 12 rudal mortar, mencoba meledakkan mesjid Al Aqsa. Kemudian pada 1996, suatu rencana zionis yang baru tentang mesjid ini dilaksanakan. Setelah gagal mencapai tujuannya dengan serangan bersenjata, para zionis berusaha menghancurkan mesjid dengan menggali terowongan besar di bawah mesjid itu. Alasan penggalian itu “penelitian sejarah.”
Kejadian di atas hanyalah beberapa contoh tentang bagaimana rencana jahat zionis radikal untuk menghancurkan mesjid Al Aqsa. Rakyat Palestina mengemban tanggungjawab melindungi tempat suci ini menanggung akibat serangan ini. Karena itu, tanggapan mereka terhadap kunjungan Sharon yang menghebohkan itu sangat penting. Kekerasan yang dimulai oleh Sharon dengan melecehkan tanah suci umat Islam dengan kawalan 1200 tentara tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Kekerasan terus berlanjut sepanjang masa kepemimpinannya.
Di hari-hari terakhir ini juga, di jalur Gaza aksi-aksi kejahatan terus berlangsung. Tentara zionis menggunakan meriam, tank, helikopter, dan pesawat-pesawat tempur untuk membombardir Palestina, terutama di jalir Gaza. Pembunuhan terhadap rakyat Palestina sudah menjadi kegiatan rutin dan biasa bagi pejabat-pejabat Tel Aviv. Puluhan tahun Palestina telah dijajah oleh kaum zionis, dan selama itu jutaan orang Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di beberapa negara sedang menanti suatu hari dimana mereka akan kembali ke kampung halaman.
Terror terhadap rakyat dan tokoh-tokoh penting Palestina merupakan agenda kerja tetap rezim zionis. Kejahatan-kejahatan itu tidak hanya membunuh warga Palestina, tapi juga membumihanguskan ladang-ladang pertanian dan rumah-rumah milik rakyat Palestina. Di samping itu, dengan membangun tembok pemisah dengan nama “tembok rasialis” atau “tembok apharteid” praktis rezim zionis telah mencaplok sebagian besar kawasan Tepi Barat Sungai Jordan.
Kekejaman mereka tanpa batas. Saat ini pasukan militer Israel telah memusatkan serangan-serangannya ke jalur Gaza. Kawasan dengan luas 365 km persegi, dengan 2 juta penduduk itu merupakan kawasan terpadat di dunia dari segi jumlah penduduknya. Politik diskriminatif dan serangan-serangan militer zionis, benar-benar telah menghancurkan perekonomian warga Palestina di kawasan ini. Tampaknya yang mendorong zionis menggempur lagi kawasan yang telah mereka tinggalkan pada bulan Agustus tahun lalu itu adalah ketegaran warga Gaza dalam menuntut hak-hak mereka. Meski menghadapi tekanan-tekanan ekonomi dan militer, mereka masih tetap menuntut hak-hak mereka, ermasuk tuntutan untuk mengakhiri penjajahan atas Palestina. Dalam perlawanan itu sebagian besar mereka telah gugur dan syahid di jalan yang mulia dan suci ini. Serangan terbaru tentara zionis ke Gaza memperlihatkan tingkat kegilaan yang mencapai puncaknya, dengan pelanggaran terhadap seluruh norma kemanusiaan dan peraturan internasional.
Hingga kini sudah ratusan rakyat sipil Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, ikut menjadi korban akibat serangan-serangan keji zionis ini. Selain itu, hancurnya jembatan-jembatan, jalan-jalan penghubung, bandara, instalasi listrik, dan berbagai infrastruktur ekonomi, merupakan bagian dari agenda kerja pasukan militer Israel. Bahkan sejumlah sekolah dan rumah sakit pun tidak selamat dari kekejian serangan-serangan mereka.
Kejahatan lainnya adalah penculikan 10 orang anggota delegasi pemerintahan dan 25 anggota parlemen serta sejumlah wakil Dewan Kota pemerintah Otoritas Palestina. Baru pertama kali ini terjadi, pasukan militer sebuah rezim illegal menculik para menteri dan wakil pemerintahan lain. Padahal berdasarkan perjanjian Oslo, rezim zionis mengakui keabsahan pemerintahan Palestina. Dengan demikian, rezim zionis kembali menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak memiliki komitmen terhadap perjanjian-perjanjian mereka, dan hanya mampu berbicara dengan bahasa kekerasan.
Para pejabat Tel Aviv, menjadikan masalah penahanan seorang tentara Israel sebagai alasan serangan mereka ke jalur Gaza. Tentara zionis itu ditawan oleh pejuang Palestina dalam sebuah bentrokan yang terjadi sebelumnya. Dalam bentrokan itu dua tentara Israel tewas. Para pemimpin rezim teroris ini menyerang dan membunuh warga Palestina di Jalur Gaza dengan alas an tertawannya seorang tentara mereka, padahal sudah bertahun-tahun mereka menahan ribuan warga Palestina (yang sebagian mereka lakukan tanpa alas an apapun), dan menyiksa mereka di penjara-penjara yang sangat menakutkan. Saat ini sekitar 10.000 orang Palestina mendekam di penjara-penjara Israel. Sekitar 1000 orang dari mereka terdiri dari perempuan, anak-anak dan orang tua. Untuk itu, salah satu syarat yang diajukan para pejuang Palestina untuk membebaskan seorang tentara Israel yang tertawan itu adalah pembebasan tahanan Palestina. Tapi persyaratn ini ditolak oleh pejabat-pejabat Tel Aviv.
Serangan beberapa kelompok pejuang Palestina terhadap pasukan militer Israel biasanya dilakukan sebagai balasan terhadap aksi-aksi kejahatan mereka. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya, pasukan militer Israel membantai sepuluh warga sipil Palestina yang tengah berwisata di pantai Gaza. Hanya Huda Ghaliyah seorang anak gadis kecil yang tersisa dari keluarga tersebut, dan hingga kini masih sering histeris ketika mengingat peristiwa pembantaian itu.
Berita-berita bergambar yang menayangkan gadis kecil yang menangis dan berteriak-teriak histeris di samping tubuh ayahnya yang bergelimang darah itu disaksikan oleh masyarakat dunia. Tentu saja peristiwa ini hanyalah satu di antara sekian banyak kejahatan rezim zionis. Beberapa hari setelah tragedi berdarah itu, pasukan militer Israel, dalam waktu satu hari, membantai tiga anak kecil Palestina di bawah usia 8 tahun.
Pembunuhan anak-anak merupakan aksi bengis rezim zionis yang sering terjadi. Beberapa hari lalu, Ibrahim Gambari, Wakil Sekjen PBB Bidang Politik, dalam laporannya kepada Dewan Keamanan (DK) mengatakan; dalam masa satu bulan yang lalu, 64 orang Palestina terbunuh di tangan tentara Israel. 11 di antaranya adalah anak-anak. Para pengamat politik meyakini bahwa serangan buas Israel ke Jalur Gaza bertujuan untuk melemahkan pemerintahan Palestina yang saat ini dipegang oleh Hamas. Sejak januari lalu, ketika Hamas meraih kemenangan dengan jumlah suara rakyat Palestina yang sangat tinggi, muncul berbagai tekanan berat, baik tekanan politik maupun ekonomi dari Israel, AS dan Eropa.
Sayangnya, sejumlah negara Arab dan pihak-pihak tertentu yang menginginkan perdamaian dengan rezim zionis, ikut menekan Hamas untuk menghentikan perlawanan mereka. Serangan zonis ke Jalur Gaza, sesungguhnya merupakan cara terakhir Tel Aviv untuk menjatuhkan pemerintahan sah Palestina pimpinan Hamas, atau paling tidak, untuk memaksa Hamas agar bersedia mencari jalan perdamaian. Dengan demikian, dengan berbagai kejahatan terbaru rezim zionis di Jalur Gaza, pengakuan negara-negara Barat bahwa Israel adalah pembela HAM dan demokrasi, perlu dipertanyakan.
Usaha negara-negara Barat menggulingkan pemerintahan sah Palestina pimpinan Hamas, membuktikan bahwa negara-negara Barat ini sama sekali tidak memiliki komitmen pada demokrasi dan suara rakyat yang sesungguhnya. Negara-negara Barat itu bukan hanya tidak serius untuk menghentikan kebiadaban zionis terhadap warga Palestina, bahkan AS mengumumkan bahwa ia akan mencegah keluarnya resolusi anti rezim teroris Tel Aviv di DK (Dewan Keamanan) PBB. Dengan demikian sudah semakin jelas, siapa penegak demokrasi yang sebenarnya dan siapa yang hanya menjadikan istilah ini sebagai slogan belaka.

Tidak ada komentar: